Misteri Hutan Kecil; karya Dian Noviantie
Dari
jendela perpustakaan, Riris melihat seorang cowok duduk di bawah pohon beringin
dekat hutan kecil itu, tengah memandangnya dengan tatapan sedih dan menusuk
hati. Siapa sebenarnya cowok itu?
...
“tapi kembalikan
malam ini juga yah, Ris.” Pinta Pak Ibrahim. Riris mengiyakan saja. Sialnya,
dia lupa meminta Keni menunggunya.
Hal yang paling
ditakuti adalah melewati hutan kecil menuju jala raya. Nggak ada jalan lain.
Riris bergidik. Membayangkan dia berjalan dalam kegelapan dalam hutan ini.
Sejak tahun 1988
kampus ini pindah di daerah pinggiran. Sebelumnya berada di pusat kota.
Lama-lama tempat itu nggak cocok untuk tempat belajar. Akhirnya kampus ini
pidah ke daerah pinggiran yang masih asri.
Riris
celingak-celinguk sebelum memasuki hutan itu. berharap masih ada mahasiswa lain
yang pulangnya kemalaman seperti dia. tapi nggak ada siapa-siapa lagi.
Riris membaca doa
dalam hati. Mencoba menenangkan hatinya. Sebetulnya dia bukan penakut. Tapi
berjalan sendiri di hutan ini. Ihh... Riris bergidik lagi. Ngeri!
Dia berjalan
cepat-cepat. Tas ranselnya terayun-ayun mengikuti gerak tubuhnya. Riris panik.
Membayangkan dia bertemu dengan makhluk-makhluk halus. Ihh...
“halo”
Ada suara
menyapanya. Riris berhenti. Memasang telinganya baik-baik. Dia takut itu Cuma
halusinya semata.
“halo, halo...”
Riris lemas.
Kayaknya nggak ada siapa-siapa. Tapi dari mana suara itu datang. Riris berjalan
lagi. Lebih cepat.
“Non, tunggu!”
suara-suara langkah memburunya. Riris makin panik. Dipercepat langkahnya.
Napasnya tersengal-sengal. Sialnya, jalan raya masih jauh! Sebuah tangan
menarik ranselnya. Riris menjerit. Tubuhnya semakin lemah. Jantungnya bergerak
lebih cepat. Ohh, Tuhan, tolong...! Dia sibuk berdoa.
“jangan takut,”
sebuah suara berat terdengar. Riris memberanikan diri mengangkat wajahnya.
Sosok itu tinggi menjulang. Tapi bukan hantu. Seorang cowok tengah memamerkan
senyum termanisnya.
“sori yah aku
udah bikin kamu takut. Aku Ben. Anak teknik. Aku Cuma mau bilang kalo kamu
salah. Ini bukan menuju jalan raya. Tapi Rektorat. Kamu nggak ada urusan ke
sana kan malam-malam gini?”
Riris tersipu
malu. Aduuuh, saking paniknya!
“oke, kita jalan
bareng, yuk. Sambil ngobrol,” cowok itu berjalan di sisinya. Perasaan Riris
jadi tenang. Walau dia nggak kenal cowok
itu, tapi seenggaknya dia punya teman pulang.
“kamu kok baru
pulang sih?” cowok itu membuka percakapan.
“aku anak D3
Fisip. Biasanya sih pulang kuliah paling telat jam delapan malam. Cuma aku
harus ngopi dulu buku dosenku. Akhirnya jadi kemalaman. Kamu sendiri?”
“pulang tugas siaran
di radio anak-anak teknik. Biasanya sih nginep di studio. Cuman malam ini aku
harus ngerjain tugas gambar.”
“jadi kamu kos
dong?”
“iya. Di Gober.
Kamu sendiri?”
“Di Khairunnisa.
Dekat stasiun Pondok Cina.”
“kamu tidur di
stasiun?”
Riris tersenyum.
Nih cowok ngocol juga.
“tadi kamu bilang
foto copy buku dosen kamu. Berarti kamu sering bolos dong.”
“yah, abis gimana
yah? Keadaan yang memaksa begitu. Aku kerja part time. Sebagai apa saja,
stan guide, guru les privat, penjaga toko bahkan baby sister dikeluarga
bule pernah aku jalanin.
Sekarang aku
kerja di butik. Abis gimana yah, sebetulnya bapakku nggak sanggup biayain aku
kuliah. Cuma aku yang ngotot pengen kuliah. Bapak bilang aku boleh kuliah asal bisa
bayar uang kuliah sendiri. yah, terpaksa segala pekerjaan aku jalanin. Asal
halal. Buktinya sampe semester tiga ini kuliah ku lancar-lancar saja,” ada rasa
bangga dalam suara tersebut.
Ben memandang
kagum gadis mungil disampingnya. Keliatannya sih gadis itu lemah. Tapi
buktinya? Ben geleng-geleng kepala. Takjub.
“kamu sendiri?”
Riris mengangkat wajahnya. Menatap Ben.
“ahhh, hidup kamu
jauh lebih beruntung, Ris.” Desah Ben. Pandangannya menerawang. Menembus
pekatnya malam.
“Ben, bukan
bermaksud aku ikut campur. Kalo kamu gak mo cerita nggak apa apa kok.”
“yah udah. Anggap
aja aku temen kamu.”
“kamu mau?”
sepasang mata teduh itu berbinar, Riris menelan ludahnya. Cowok ini pasti
sangat membutuhkan teman bicara.
“aku korban
broken home. Ortu cerai sejak aku lulus SMA. Sebetulnya aku nggak minat kuliah.
Buat apa. Toh mereka juga gak berharap aku jadi orang. Tapi bokap maksa. Malah
ngancam akan mengusirku dari rumahnya. Terpaksa aku kuliah. Daripada aku jadi
gelandangan. Tapi aku sering bolos. Sebetulnya aku nggak minat kuliah di
teknik. Bokap yang maksain. Katanya biar perusahaan desain graphis-nya jatuh
ketanganku. Tapi aku nggak peduli. Kuliah bagiku Cuma pelarian. Biar aku bebas
dari rumah.”
Ben menghentikan
ceritanya. Riris menunggunya dengan sabar. Angin berhembus kencang. Riris
merasa dingin. Dirapatkan kerah sweaternya.
“dingin? Nih pake
aja jaketku.” Ben telah menyodorkan jaket jeansnya. Riris nggak tega nolak.
Wangi parfum khas cowok menyergap hidungnya. Macho. Semacho penampilannya.
“aku sering
nongkrong di cafe-cafe. Disitu aku kenalan dengan anak-anak yang nasibnya nggak
beda denganku. Mereka ngenalin aku dengan sesuatu yang bisa membuatku melupakan
penderitaanku. Membuatku nyaman. Aku seperti melayang-layang. Ringan. Bebanku
seperti lenyap. Aku bisa tertawa-tawa bahagia.”
“Ben, kamu ngedrugs?”
tanya Riris hati-hati.
“yah, ngga ada
cara lain menghentikan kesedihan itu, Ris. Aku frustasi. Aku seperti nggak
berarti apa-apa.”
“sebetulnya kamu
pengen kuliah dimana?”
“Aku seneng
banget gambar. Aku udah di terima di ASRI Yogya. Aku pengen jadi seniman. Punya
sanggar lukis sendiri. Tapi Bapak telah merusak impian itu. katanya, jadi
seniman adalah hidup sia-sia. Cuma merusak nama ningrat keluarga Bapak.”
“ibumu?”
“dia udah punya
keluarga sendiri. dari dulu ibu nggak tahan sama keluarga bapak yang terlalu
membanggakan keningratannya. Aku sendiri heran. Di zaman yang udah semodern ini
darah biru masih aja merupakan kebanggaan. Bagiku derajat manusia sama aja
dimata Tuhan. Yang penting bagaimana dia menjalakan kehidupannya.”
“tapi kamu nggak
pernah ngedrugs lagi kan?” tanya Riris. Hati-hati lagi. Takut
menyinggung perasaan Ben.
“Kadang kala,
Ris. Kalo aku lagi suntuk. Nggak tau mau ngapain.”
“kenapa nggak
berdoa aja? Atau sholat?”
Ben tercenung.
Lama.
“udah lama banget
aku nggak pernah sholat, Ris. Paking kalo lebaran aja. Itupun sholat
sendiri-sendiri. nggak pernah berangkat dan pulang bareng. Kalo lebaran aku
malah sedih. Kapan keluargaku bakal rukun?”
“kenapa nggak
kamu yang merukunkan mereka. Kamu malah melarikan persoalan kamu dengan
ngedrugs. Apa dengan ngedrugs keluargamu bakal rukun kembali? Nggak kan? Sorry
lho, Ben, bukan maksudku sok menggurui kamu.”
“tapi
seenggak-nggaknya dengan itu aku bisa melupakan persoalan sebentar.
“iya, Cuma
sebentar. Setelah kamu sadar lagi, persoalan itu masih terus saja ada.”
Ben mengangguk.
Menyetujui pendapat Riris. Baru kali ini pemikirannya terbuka. “Thanks Ris. Aku
sadar apa yang aku lakukan nggak akan mengubah keadaan. Malah bertambah kacau.”
“kamu janji nggak
akan mengulanginya lagi?” tanya Riris berdebar-debar.
“aku janji, Ris.
Demi kamu.”
Hati Riris
berbunga-bunga. Langkahnya semakin ringan. Kayaknya udah lama dia mengenal Ben.
Mereka ngobrol lagi. Yang ringan-ringan saja.
“udah sampe nih
Ris. Kamu naik apa?”
“taksi aja deh.
Abis udah malem sih. Kamu sih enak. Udah nyampe di kos?”
Ben mengangguk.
Menunjukkan rumah bertingkat bercat putih. Kos khusus cowok.
“oya, nih
jaketnya. Entar kelupaan lagi. Thanks yah.,” Riris melepas jaket jeans milik
Ben.
Mereka berpisah.
Riris merasa berat. Seandainya mereka bisa ngobrol lebih lama lagi. Ahhh, belom
tentu tentu mereka ketemu lagi. Riris menyesal. Kenapa nggak ngasih nomor
telepo kostnya?
Ketika Riris
menoleh untuk memanggil Ben. Ben udah nggak keliatan lagi. Cowok itu
menghilang! Secepat itu?
“Pulangnya
buruan, yuk. Udah malem nih,” Keni menatap cemas jam guess ditangannya. .
“tenang deh, Ken.
Ngga ada apa-apa kok,” Riris merapikan alat-alat tulisnya. Dimasukkan ke tas
ranselnya.
“Ah, sok tahu
lo,” Keni manyun. Diikuti langkah Riris keluar dari kelas mereka. Anak-anak
yang lain udah bergegas pulang. Kebanyakan mereka nebeng dengan anak yang bawa
mobil. Atau setia nunggu bis kampus yang akan lewat.
Tapi banyak juga
yang memilih lewat hutan kecil itu. lebih cepat ke jalan raya. Setelah baru
naik bis. “seminggu yang lalu gue malah kenalan ama anak teknik. Keren deh
anaknya. Kayak Atalarik. Lo tau kan?”
“Atalarik kek, Brad
Pitt kek, emang gue pikirin. Jalannya yang cepet dong, Ris, tuh kita
ketinggalan jauh ama yang lainnya.”
“aduuh, Keni.
Penakut amat sih. Percaya deh ama gue. Nggak ada apa-apa. Gue malah kenalan ama
duplikat Atalarik itu. Namanya Ben.”
“Ris, lo sih
nggak tau gosip yang beredar di kampus ini. Lo sibuk kerja sih jadinya nggak
tau kan gosip terbarunya anak-anak?” tanya Keni tanpa memperdulikan omongan
Riris.
“apaan sih, Ken?
Paling-paling gosipnya Pak Hengki yang naksir Bu Lita. Atau Citra yang putus
sama Emir. Ahhh, kalo Cuma itu sih bosen. Gosip nggak bermutu.”
“namanya juga
gosip. Mana ada yang bermutu sih? Masalahnya bukan itu, Ris. Tapi kalo gue
ceria lo juga bakal nggak percaya. Lagian gue takut cerita yang serem-serem di
tempat seperti ini.”
“Ooo... jadi
cerita serem nih?” tanya Riris cuek. Tanpa memperdulikan wajah Keni yang udah
pucat.
“Ahhh, udah deh
nggak usah dibahas. Gue takut kalo gue cerita besok lo nggak mo pulang lagi.
Malah ngumpet aja di kelas.”
“emangnya gue
kayak loe,” balas Riris nggak mo kalah. Keni diam aja.
“Dua hari yang
lalu Putri shock lewat sini. Tapi dia nggak mo cerita.”
“trus gosip
seremnya apaan dong?” tanya Riris penasaran.
“kan udah gue bilang,
gue nggak mo cerita di sini. Entar-entar aja kalo gue udah berani lewat sini
sendirian.”
“yah, sampe kapan
dong?” lama-lama Riris jengkel juga. mo cerita aja sush amat.
“besok lo nanya
aja ama anak-anak yang lain. Uff, utung udah nyampe deh! Mendigan mulai besok
gue minta Hang jemput gue aja deh.”
“gue pulang
sendirian dong?”
“lho, katanya lo
berani?”
Riris cemberut.
Mana enak pulang sendiri. mending kalo ketemu Ben. Riris jadi ingat cowok itu.
dia udah nggak ketemu cowok itu lagi. Mungkin hampir tiap malam cowok itu
nginep di studio.
...
“cowok itu emang
cakep sih. Tapi kalau dia tersenyum, ihh... dingiin banget. Perasaan gue jadi
nggak enak. Gue buru-buru kabur aja,” cerita Mitha di kantin.
Riris menikmati
nasi gorengnya cuek. Pagi ini mereka ada kuliah. Menggantikan jam kuliah Pak
Ibrahim yang berhalangan hadir tiga hari yang lalu. Terpaksa Riris minta ijin
Mbak Risa, penanggung jawab butik itu. abis dia nggak boleh bolos lebih dari
dua kali.
“gue juga sering
ngeliat dia nongkrong di Balsem. Kayaknya sih bukan anak Fisip. Tapi dia kok
demen banget disitu,” Sasa menimpali cerita Mitha.
“orangnya kayak
gimana?” tanya Putri tertarik.
“jangkung, putih,
wangi... pokoknya keren deh. Kayak foto model,” jelas Mitha.
“kayak atalarik?”
bisik Sasa.
Riris mengangkat
wajahnya. Siapa... Atalarik? Berarti Ben dong. Ben juga mirip-mirip Atalarik.
Wah, gawat kalo mereka udah ketemu Ben. Ben bakal jadi rebutan!
“kita waktu itu
ngobrol-ngobrol. Kasian deh. Dia korban broken home. Dia dipaksa kuliah disini
padahal dia nggak minat. Waktu gue nanya nomor telepon rumahnya biar komunikasi
terus berlanjut, dia nggak mo kasih. Begitu juga waktu gue kasih nomer telepon
gue, dia cepet-cepet pergi. Tingkahnya aneh banget. Trus, ilangnya itu cepeeeet
banget. Gue jadi curiga deh. Jangan-jangan dia...”
“udah, udah! Lo
jangan nyebarin gosip dong, Mit! Gue kan jadi takut pulang lewat hutan itu,”
Sasa merapat ke tubuh Riris.
Kepala Riris jadi
pusing. Gosip? Gosip apaan sih? Banyak banget sih gosip yang beredar di kampus
ini?
“mit, cerita
dong,” pinta Riris serius.
Mitha menoleh ke
Sasa. Tapi Sasa menggeleng. “jangan deh, please... hari ini gue kuliah sampe
malem nih. Sopir gue nggak jemput lagi. Terpaksa gue naik Bis. Dan mo nggak mo
gue kudu lewat jalan hutan itu,” keluh Sasa sambil narik napas panjang-panjang.
“ya, udah deh,
kalo nggak mo cerita. Gue pusing nebak-nebak gosip yang beredar di kampus ini.
Mendingan gue ke perpus aja. Ada buku yang mo gue pinjem.” Riris berdiri mo
bayar makanannya ke ibu kantin.
Dengan santai
Riris masuk ke perpus. Tumben sepi. Biasanya jam segini banyak yang baca buku
di sini. Sebelum menuju rak buku perbankan, iseng-iseng Riris menjangkau koran
‘Gema Kampus’ milik anak-anak Fisip yang terbit seminggu sekali. baru kali ini
ia sempat baca. Biasanya sih nggak pernah ketinggalan. Riris menelusuri satu
per satu artikel-artikel yang ada di ‘Gema Kampus’. tiba-tiba matanya melotot.
Dibawah kiri, ada artikel kecil. Plus sebuah foto keren. Riris seperti kenal
dengan wajah keren ini. Ben...
Seminggu
yang lalu ditemukan seorang cowok tewas tertabrak kereta api di jalur rel
kereta api depan hutan kecil, dekat kampus Fisip pada pukul enam pagi. Walau
beberapa saksi mata telah memperingati cowok itu supaya tidak menyebrang. Tapi
sepertinya cowok itu tidak sadar diri. Diduga dia abis ngedrugs...
Riris melihat
tanggalnya. Tanggal 17, berarti kejadiannya tanggal 10. Tepat malamnya ia
bertemu dengan Ben. Kenalan, ngobrol-ngobrol... ih, Riris merinding.
Tiba-tiba matanya
berkunang-kunang. Riris menjerit. Dari jendela perpus, dia melihat seorang
cowok tengah duduk di bawah pohon beringin, dekat hutan kecil itu. tengah
memandangnya dengan tatapan sedih dan menusuk hati. Dia mengenakan jaket jeans
yang seminggu lalu Riris meminjamnya. Riris seperti mencium wangi parfum cowok
itu yang macho.
Riris yakin cowok
itu adalah.... Ben!
***
Komentar
Posting Komentar