Cerpen Halte
Aku
melirik padanya. memperhatikan penampilannya yang terkesan anak kuliahan karena
pakaian yang ia kenakan. “menunggu bus” Aku menjawab sekenanya saja pada lelaki
disebelahku itu.
...
Angin
di malam ini, sama seperti malam kemarin. Hanya saja sedikit berhembus lebih
kencang. Kain jilbabku terbawa angin, kutarik perlahan, membawanya kesisi yang
lain. Aku berdiri malam ini. Masih tak ada bintang. Bulan pun hanya samar
terlihat. Kutarik nafasku dalam-dalam. Entah apa yang akan orang lain katakan
melihat aku yang berdiri disini 2 jam lebih. Menunggu seseorang yang tak
kunjung datang.
Aku memang salah. Satu tahun
yang lalu saat dia masih di sini, aku diam dan acuh. Setahun yang lalu pula,
aku tetap melakukan hal yang sama, berdiri disini menanti bus yang datang, di
halte ini saat kau menggandengnya dengan caramu yang justru aku suka. Aku hanya
terdiam kaku. Aku berusaha mengatur nafasku yang berdegup kencang saat kau
bersamanya. Sangat menyesakkan. Kuatur kembali nafasku. Kulirik kau semakin
menjauh dengannya. Tertawa bersamanya, merangkulmu, dan bersandar dibahumu. Kututup
mataku.
Bagaimana
mungkin aku merasa ia menjauh dariku? Inikah perasaan tuhan, saat tuhanmu
mendekat dan kau malah menjauh? Ah, aku tak pernah menyadarinya, aku selalu
mengaguminya tapi aku salah. Salah besar! Yang pantas ku kagumi adalah yang
menciptakanku. Aku terjaga dalam lamunanku. Lamunan yang takkan pernah ada
artinya lagi.
Tidak.
Itu bukan hal penting yang seharusnya otakku pikirkan, masih ada hal yang
penting yang belum kulakukan. Menunggu bus, salah satu hal penting yang harus
kulakukan. Bukan sekadar melamunkannya, membayangkan melihat dirinya bersama
perempuan berambut ikal itu bercanda ria disudut halte yang lainnya.
Aku
kembali terjaga. Kulirik jam di lenganku. 2 setengah jam sudah aku menunggu
disini, masih sama dengan tahun lalu, menanti bus yang akan datang. “boleh aku
menunggu bus disini?” seseorang menghampiriku, dari arah samping. Pakaiannya
simple, berbalut dengan jaket tebal dan sepatu
“tentu.”
Aku memberinya tempat
“apa
yang kamu lakukan malam-malam seperti ini?” katanya ramah berusaha memulai
obrolan denganku.
Aku
melirik padanya. Memperhatikan penampilannya yang terkesan anak kuliahan karena
pakaian yang ia kenakan. “menunggu bus.” Aku menjawab sekenanya saja. Bukan,
bukan aku berusaha untuk naif, jaim, tapi
inilah aku. Aku bukanlah orang supel yang langsung akrab dengan orang
yang baru ku kenal. Dan kupikir itu caraku menjaga diriku sendiri di kota besar
ini.
“mau
pulang?” katanya bertanya lagi padaku. Suasana di halte yang sepi mendadak berubah,
karena suaranya yang besar yang terkesan berat atau mungkin ia tipe orang yang
tidak suka keheningan.
“iya.
Naik bus” ucapku.
“ooh...”
ia mengangguk. Kurasakan angin kembali berhembus, dingin, tapi aku tetap
berdiri di halte itu.
“duduklah.
Aku tahu kau sudah lama berdiri.” Katanya mempersilahkanku duduk.
Hanya
berdua dihalte dan aku harus menerima tawarannya? Tidak. Aku tetap pada
pendirianku untuk berdiri. Kujawab hanya dengan senyuman lelah dari mukaku.
“yasudah kalau kau tak mau” sepertinya ia
mengerti apa maksudku. Ia kembali duduk di tempat tunggu halte dengan muka tak
enak hati. Mungkin saat ini ia tengah memiliki rasa tak enak padaku. Tapi
sungguh, aku hanya tak ingin berbicara untuk saat ini, itu semua karena ingatan
tentang halte ini 2 tahun yang lalu itu sungguh merusak mood ku saat
ini.
Bus
pun akhirnya datang. aku masuk pertama. Kukira dia takkan menaiki bus yang
sama. Tapi entah kebetulan, ia juga naik dalam bus yang sama. Ah... hanya ada
satu kursi yang kosong. Kutengok kebelakang “kamu duluan” katanya berusaha
ramah padaku. “kau tidak mau?” tanyaku kepada orang asing itu. “tidak, aku
sudah duduk tadi di halte.” Katanya tersenyum. Aku masih kaku untuk senyum
padanya. Aku duduk di situ.
Malam
semakin larut. Kostanku masih jauh dari sini, dan sepanjang perjalanan aku
menjadi orang jahat yang membiarkannya berdiri sendirian memegangi pegangan
tali atas bus. Perlahan, kulirik dirinya. Aku hanya ingin memastikan dia tetap
terjaga, jangan sampai kantuknya membuatnya roboh. Tatapanku salah waktu, ia
juga melirikku! Aku membuang pandanganku. Merasa tak ada apa-apa yang terjadi.
Kulirik lagi dirinya. Orang asing di sebelahku yang sedang berdiri yang bahkan
tak pernah ku tahu namanya itu tersenyum padaku. Entah apakah ia tahu aku tadi
meliriknya atau karena memang benar ia seorang idiot yang hanya bisa tertawa
saat orang lain terlelap dikursinya masing-masing.
“kenapa
kau tertawa?” aku yang merasa tersindir akhirnya angkat bicara memulai
pembicaraan. “tidak apa-apa.” Katanya terkekeh. “kurasa tidak ada yang lucu.”
Lanjutku menutup mukaku dengan buku yang telah kubeli.
Ia
hanya tersenyum. Aku tidak suka pandangannya padaku. Persis seperti dia yang
memandang perempuan ikal itu. aku memang suka saat dia memandangku, tapi tidak
untuk orang asing disebelahku.
Bus
itu berhenti untuk sekadar istirahat. Kulepas penatku. Ah, jam digitalku
menunjukkan sudah pukul 8 malam. Aku belum shalat. Pandanganku memutar. Masih
belum terlihat ada mushollah atau masjid di sekitarnya. Sudut mataku yang satu
melihat sebuah masjid. Ah... jadwal bus istirahat masih lama. Kulangkahkan
kakiku ke arah masjid itu. angin hari ini masih bersahabat. Aku masih segar,
apalagi setelah air wudhu yang membasuhi tangan dan muka ku terkena angin. Andai
hidup di akhirat nanti orang terjamin seperti sejuknya air wudhu ini tanpa
melihat dosa, pasti aku akan lebih senang.
Aku
mengambil shaf pertama di bagian wanita. Kulihat sekitar. Mataku memandang
sekitar, untuk mengetahui apakah aku bisa ikut berjamaah dengan shaf laki-laki.
Dan sorotan mata itu sekilas aku melihatnya. Ah. Lelaki di halte itu lagi. Aku
membuang pandanganku begitu ia tersadar bahwa aku, melihatnya. Ia tersenyum,
dan kemudian menghampiriku. Otakku berfikir keras. Untuk apa ia mendekatiku? Ia
punya wudhu begitupula aku. “berjamaah yuk.”kata manis itu terlontar dari bibir
pemuda itu. aku terkejut karena itu hal yang tadi ingin kulakukan dan dia tahu
aku ingin melakukannya.
“kau
sudah wudhu?” ucapku berbasa-basi meyakinkan dia takkan macam-macam. Dan apapun
yang dia tawarkan, kuharap ia tulus dari hati. “tentu. Ayo sholat.” Lelaki itu
berbalik badan mengambil tempat tepat di depanku. Aku terpaku. Baru kali ini
aku berjamaah dengan orang asing yang berusaha ramah, namun aku menghalaunya, hanya
karena senyumannya yang mengingatkanku tentang orang yang pernah menyakitiku.
Aku
akui ia orang yang ramah. Dan senyumnya berkharisma. Mungkin dari sudut itu aku
memandangnya. Salam terakhir kupanjatkan pada Illahi robbi agar aku sehat dan
selamat di perjalanan pulangku ini. Ia berdzikir. Tak lama berselang saat aku
sedang merapikan lengan bajuku, ia menoleh dan memberi salam padaku. Tangannya
yang menyatu dan pandangannya membuatku tersenyum sekilas. Aku tahu, ia lelaki
baik-baik.
Aku
keluar dari masjid itu. berjalan kembali menuju bus. Kulihat ia sedang memakai
sepatu. Menaiku bus, bukan hal yang luar biasa. Aku sudah berkali-kali menaiki
bus yang sama. Namun dengannya, seakan aku tak mau melepaskan pandanganku
padanya. Aku merasa tenang dan lupa dengan semua hal yang telah menyakitkan
bagi hatiku.
Lelaki
itu masuk kembali ke dalam bus. Kulihat penat diraut wajahnya. Pasti ia sangat
lelah. Aku kembali berdiri. Ku pegang pegangan bus diatas. Lelaki itu berjalan
mendekatiku. Kini lelaki itu ada di depanku. “duduklah” jawabnya
singkat.matanya terlihat sudah menahan kantuk. “ku kira kau yang harus duduk
untuk sekedar meluruskan punggungmu” jawabku melontarkan senyum. Senyum yang
tak bisa kulakukan pada orang asing, kecuali dirinya.
Lelaki
itu mengernyitkan dahinya.
“kenapa?”
ujarku bingung.
“apa
seperti ini sifatmu? Beberapa jam jutek, dan beberapa jam lagi ramah.” Ujarnya
merebahkan punggungnya di kursiku.
“menurutmu?”
aku melontarkan senyum lagi padanya. Dan kuharap, dia takkan bicara seperti
tadi, lagi.
“aku
yakin kau ramah” ujarnya menatapku.
Aku
langsung membuang tatapan ku padanya. Dan kuharap, ia mengerti kenapa aku
melakukan itu. sepanjang perjalanan, kami hanya diam. Sesekali bergantian
tempat duduk. Aku memang telah mengizinkannya duduk di tempatku, tapi ia tetap
meminta per 30 menit bergantian duduknya.
Penumpang
disebelahnya telah turun. Ia menggeser tempat duduknya. “duduklah, sungguh aku
takkan melakukan apa-apa.” Jawabnya. Aku hanya tersenyum, dan aku tahu ia
menghormati perempuan.
Bus
terus melaju ke pemberhentian terakhir. “kenapa kau selalu membuang tatapanmu
saat melihatku?” ia memulainya.
“aku
hanya ingin Allah tahu aku menuruti perintahnya.” Ujarku pelan. Lelaki itu
hanya tersenyum. Bus itu kini berhenti. Tepat di depan pemberhentian yang
kutuju.
“Aku
harus turun” ujarku. Ia melihat jam digital di lengannya lalu melihat ke arah
jendela
“sudah larut malam ternyata ya. Baiklah.
Hati-hati ya.” Jawabnya padaku.
Aku
hanya melontarkan senyum. Sembari mengambil tasku yang masih ada di tempat
duduk penumpang.
“Hey!
Kita belum kenalan, siapa namamu?” aku yang sedang ribet dengan urusanku tak
menjawab pertanyaan lelaki itu.
“Namaku
Ilham!” ia melambaikan tangannya padaku. Bus kembali jalan. Aku sudah turun
dari bus itu. kulihat lelaki itu dibalik pintu bus yang perlahan menutup
otomatis. “sampai jumpa lagi!” ia tersenyum dari balik pintu bus itu.
....
Komentar
Posting Komentar