Cerpen: Aku Sayang Kamu
Saat
kita tersadar, barulah kita tahu, bahwa
cinta itu... yang mengorbankan semuanya, demi kita...
“Mario!
Makan...”
“uh...
jam berapa ini? Nanti saja!”
“kamu
ada kuliah kan hari ini?”
“iyaa,
tapi nanti jam 8 pagi!”
“
ini udah jam 7 Mario!”
“apa!?!”
aku bangun dari tempat tidur. Kulihat jam dinding. “yaampun! Jam 7! Aku belum
siapin materinya! Gimana kalo ada kuis? Aduh! Mampus!”
“Mario?
Apa sekarang aku boleh masuk?”
“ya
ya ya masuk saja...” jawabku sambil mengganti kaos ku.
“Mario!”
“apa
lagi?” aku mengambil peralatan mandiku.
“pintunya
dikunci!”
“astaga!
Maafkan aku. Tunggu sebentar!” Aku mengambil kunci kamarku. Ku buka kamarku.
Perempuan berkacamata dengan rambut tergerai menunggu di depan kamar kost ku.
Ia membalikkan badannya.
“pagi
bang! Ini aku bawakan makanan. Aku tak bohong kan kalau aku bisa masak. Ini
makan. Cobain buatanku.” Susan menyodorkan rantang yang ia bawa. Susan dan aku
memang teman lama. Aku dan dia sudah berteman sejak kami duduk dibangku SMP.
Aku selalu bangga dengannya, karena ia bisa taekwondo sedangkan aku tidak bisa.
Tapi, beberapa hari ini ia bilang kepadaku, ia ingin menjadi feminim, katanya
biar terlihat seperti wanita seutuhnya. Ah... tapi aku tetap saja tak percaya
dengan ucapan bocah tengil itu. yang aku tahu, di lemarinya dia hanya mempunyai
2 rok, rok SMP, dan rok SMA.
“wah...
masuk masuk! Untung kamu bangunin aku San, kalo engga, aku bisa ketiduran sampe
jam 8 dan ngga ikut mata kuliah si joker itu.” kataku mengacak-acak rambutnya.
“eits...
duuh... jangan diacak-acak. Aku nyisirnya lama loh.”
“emang
kamu nyisir sendiri?”
“engga
sih, di sisirin sama bibik” jawabnya polos sekenanya. Kami tertawa kembali.
“mmphh... bau apa ini?” susan mengendus-endus sekita kamar kost ku. “kamu belum
mandi ya?” tanya susan.
“belum.
Emang segitu baunya ya?” ujarku mencium bau badanku sendiri.
“engga
sih, aku udah biasa sama bau kamu. Cepet mandi! Gila kamu! Ngga mandi berapa
hari coba.”
“hahaha....
iya bawel!” aku tertawa dan kembali mengacak-acak rambutnya.
“Mario!
Aku sudah bilang berapa kali sama kamu! Jangan rusak rambutku! Cepat mandi”
ujarnya melemparkan beberapa bantal kasurku. Aku mengelak dan terus tertawa
sembari berjalan ke kamar mandi.
Aku
bersyukur memiliki Susan. Di kota sebesar ini tanpa ada siapapun yang aku
kenal. Bahkan jalanan pun aku rasa asing saat pertama kali tiba dikota besar
seperti ini. Untung di bus aku bertemu dengannya. Kami akhirnya mencari tempat
kost yang dapat menampung putra maupun putri. Memang itu sulit, tapi
setidaknya, aku dikota besar ini bersama temanku, Susan.
“hey!
Mario! Sudah mandi kau?” ujarnya menata makanan di lantai.
“ah...
kamu cium aroma tubuhku... wangi hahaha” ujarku meledeknya dengan meluruskan
kacamatanya.
“kamu
selalu seperti itu Mario! cepat makan!” ujarnya memberikanku piring dan sendok.
Aku
mengambil nasi dan lauk pauknya. Kulihat Susan. Matanya kosong, ah, dia melamun
lagi. “woy!” ucapku mengagetkannya.
“ih
nyebelin! Aku jadi kaget tau!” ucapnya.
“ya
habisnya kamu diam saja dari tadi. Kenapa sih kenapa? Cerita dong sama aku.”
Ucapku sok bijaksana.
“kamu
tahu Nanda kan?”
“mm...
ya. Memangnya kenapa?”
“kamu
tahu ia kecelakaan?”
“kecelakaan?
Oh ya ya, kudengar dari teman-teman, ia tertabrak motor beberapa hari yang
lalu. Bagaimana keadaannya?”
“sudah
membaik.” Katanya sambil melahap makanannya.
“wah,
bagus deh kalau begitu. Aku ikut senang.” Kataku menganggukkan kepalaku.
“kamu
tahu tidak, waktu aku menjenguknya beberapa hari yang lalu, kulihat Bobby ada
disana dan menemaninya sepanjang ia masih dalam perawatan.” Katanya. Bola matanya terlihat memutar.
Pikirannya mungkin kosong, memikirkan Nanda disana.
“itu
namanya pengorbanan San. Kalau kamu sayang dan cinta sama seseorang harus
berani berkorban. Ya seperti Bobby tadi ke Nanda. Menemaninya sampai sembuh
dari perawatan. Adalagi San, pengorbanan itu terkadang membuatmu sakit.”
“kayak
kamu sama Lala?” ucapnya. Matanya melihat ke arahku, seakan ia tahu apa yang
sedang aku rasakan kini.
“yah,
seperti itu.” jawabku lemas.
“kalau
kamu cinta, kenapa kamu ngga mertahanin dia? memperjuangkan gitu.” ucapnya
kepadaku. Matanya masih tetap menatapku.
“entahlah
San, aku tak yakin ia layak diperjuangkan. Ia hanya ingin terlihat modis. Dan
bergabung dengan anak-anak tenar” jawabku.
“plakk...”
Susan menepuk bahuku. “sudahlah, kan ada aku. Tenang, nanti juga dapat
penggantinya. Aku bakal cariin pengganti
Lala. Percaya deh sama madam Susan.” ucapnya menghiburku. Aku tahu, aku tahu
benar Susan takkan membuatku sedih. Ia memang sahabat terbaikku.
...
Aku berjalan
menuju kantin. Menunggu diantara para mahasiswa aneh di kantin kampus. jam 2
siang. Dia pikir aku mau menunggu seseorang yang tak pernah ku kenal untuk
makan siang bersama? Kalau bukan karena Susan aku takkan ada disini. Kupikir makan
dengan Susan lebih enak. Kami bisa tertawa sepuasnya di kostan. Dan gratis
tentunya. Susan bilang teman perempuannya akan datang kesini. Dan ia berpesan
aku harus menjaga sikapku.
“ekhm...
Mario ya?” ucap seorang perempuan berbaju merah dengan tas yang seperti ibu-ibu
ada di hadapanku.
“oh
ya... ini pasti...” aku mengingat ingat nama yang dikasih Susan tadi pagi saat
kami berangkat ke kampus.
“Lady...”
ucapnya mesra padaku.
Uh...
apa yang Susan pikirkan? Kenapa ada cewek jadi-jadian gini di depanku? Mau
dibawa kemana kalau aku sampai pacaran dengannya? Ah... jijik aku melihatnya.
“mas!
Menunya.” Katanya pada pelayan kantin kampusku.
“kamu
mau pesen apa? Aku ini ya mas. 3. Yang dibungkusnya dua.” Katanya pada pelayan
kantin.
“aku
nasi goreng satu. Lemon tea satu.” Kataku memesan.
“jadi,
kamu ngambil jurusan Fisip?”
“eh..
ngg... iya.”
“kapan
kamu lulus? Kira-kira jurusan Fisip prospek kerjanya menghasilkan banyak uang
ngga ya? Soalnya aku kan butuh shopping, butuh make up, butuh perawatan
kecantikan, dan masih banyak lagi. Iya kan?”
“eh...”
aku hanya tersenyum menanggapi celotehannya. Dia pikir aku ini mau dengannya?
Dasar wanita matre. Kalau aku sampai pacaran dengannya bisa-bisa uangku habis
buat dia saja.
“mba,
mas, ini pesanannya.” Pelayan itu menyodorkan makanan dan minuman kepada kami.
“Lady,
banyak sekali yang kamu pesan, apa tidak berlebihan?” tanyaku pada cewek matre
itu.
“berlebihan?
Kamu memangnya tidak suka yang berlebihan?” Mukanya kini berada dekat sekali
dengan mukaku. “ya... begitulah...” ucapku menyikirkan muka ku dari hadapannya.
“mari makan.” Kataku dengan senyum. Dia kembali ke tempat duduknya dan kemudian
makan. Banyak sekali yang ia bahas. Sayang, aku tak suka dengan tingkahnya yang
seperti itu.
“mba
berapa semuanya? Ucapku kepada kasir. “100 ribu mas” katanya menunjukkan bill
makan kami. “hah? 100 ribu? Aku perasaan cuma pesan 2 macam saja.” Kataku
kepada kasir. “iya, benar, tapi makanan mba-mba yang ada di sana, semuanya
dibayar sama mas juga kan?” ucap kasir itu.
Aku
menghela nafas. Aku keluarkan uangku. 100 ribu? Itu cukup untuk 4 hari makan
aku dikost-an bersama Susan. Aku pulang ke kost-an dengan keadaan jengkel.
Bagaimana tidak, uangku habis untuk perempuan penggoda itu.
...
“gimana?”
tanya susan padaku.
“gimana
apanya?”
“gimana
nge-datenya?”
“ah...
kamu kasih aku makhluk apaan sih? Besok-besok kamu harus ikut aku saat aku
ngedate sama cewek-cewek yang kamu pilihin itu.”
“loh?
Kok gitu? Ya ngga bisa dong.”
“ya
harus bisa! Pokoknya uang makan harus ditanggung bersama.” Ucapku setengah
kesal.
Susan
hanya tertawa. Ia kemudian menganggukkan kepalanya. “baiklah, tapi aku jamin,
cewek besok yang aku kenalin sama kamu baik, ramah, dan ngga ngabisin uang kamu
kok.” Katanya terseyum.
...
“psst...
Mario! Sini!”
“dimana
ceweknya San?”
“itu”
Susan menunjuk ke arah yang dimaksud. “aku janji sama kamu, yang ini ngga matre
kok.” Kata susan tersenyum. Aku mengangguk. “tunggu disini ya” kataku padanya.
Kuberikan dia harum manis. Sebagai cemilannya ditaman. Kutinggalkan ia,
sendirian untuk menemui cewek yang ia comblangkan untukku.
Kudekati
perempuan itu. “permisi...” ucapku padanya.
“eh...
silahkan. Kamu, Mario ya?” ucapnya padaku.
“iya
aku Mario.” Ucapku padanya.
“aku
Yosi. Senang bisa kenalan sama kamu.” Ucapnya.
Aku
lebih terbuka dengan perempuan kedua yang dikenalkan oleh Susan. Lebih terlihat
natural dan apa adanya. Caranya berbicara, aku suka. Cara pandangnya, sama
denganku. Kami mengobrol hingga sore. Hujan yang tiba-tiba, membuatku harus
mengantarkannya ke rumahnya. Aku sangat menikmati hari bersamanya.
“terima
kasih telah mengantarku.” Ucap Yosi padaku.
“sama-sama.
Hati hati Yos!” ucapku pada perempuan anggun itu.
“eh...
yos!” Aku memanggilnya, dan menghampiri perempuan itu. Yosi menengok ke arahku.
“emm...
selamat sore.”
“selamat
sore juga Rio.” Ia kembali berjalan.
“Yos.”
Ucapku memanggilnya kembali.
“ya?
Ada apa Mario?”
“kita
tetap jadi teman kan?”
Ia
tersenyum. “tentu. Kita akan tetap jadi teman.” Jawabnya. “Mario, kamu
beruntung, masih memiliki Susan disampingmu. Dia perempuan terhebat yang pernah
aku temui, Mario.” Kata Yosi melanjutkan.
“dan
juga tengil.” Ucapku tertawa. “hahaha... dia pasti telah menunggumu lama,
Mario.” Timpal Yosi.
“ya,
ia pasti...” “astaga! Susan!” kunyalakan kembali mesin mobilku.
“Susan?
Kenapa dia, Mario?” ucap Yosi dari luar jendela mobilku. “panjang ceritanya.
Aku pergi dulu ya Yos. Hati-hati. Salam buat gebetanmu itu. semoga sukses.”
Ucapku menutup kaca mobil. Melaju kencang, dengan hujan dan guntur yang
bergemuruh. Susan...
...
Hujan
semakin deras. Aku tak habis pikir melupakan Susan, demi orang yang baru
pertama kali kukenal. Aku kembali ketaman, secepat yang aku bisa.
“Susan!”
Perempuan
dibawah pohon itu menengok. Badannya basah kuyup, dan lemas. Aku
menghampirinya. Mukanya pucat.
“bodoh!
Kenapa kamu ngga pulang?” ujarku melepas jaketku, dan memakaikannya pada Susan.
“ka...
kamu... kamu... bilang a... aku... disuruh tunggu kamu disini.” Ucapnya
menggigil.
“Susan,
kamu pucat, kamu dingin.” Ucapku mendekapnya. “aku tahu itu, Mario...” jawab
Susan. “gimana? Yang ini...” belum sempat Susan melanjutkan kata-katanya,
kulihat ia yang dari tadi lemas, pingsan didekapanku.
“Susan!”
aku bingung harus berbuat apa. Aku sangat menghawatirkannya. Kalau sampai ada
apa-apa dengan Susan, aku takkan memaafkan diriku. aku bawa Susan ke mobil, dan
melaju pulang ke kost-an. Badannya menggigil. Aku khawatir. Aku bingung. Aku
pusing. Apa yang harus aku perbuat? Ku kompres Susan dengan air hangat, bibik
ku suruh mengganti baju Susan, dengan yang lebih hangat. Aku menyalahkan diriku
sendiri. Susan, maafkan aku.
...
“mario?”
Aku
terjaga. “Susan? Kamu sudah sadar?”
“gimana
sama cewek yang kedua? Baikkan anaknya?” tanya Susan.
“baik.”
Ucapku.
“ngga
matre kan?” tanyanya lagi.
“engga.”
“kamu
suka ngga sama dia?” tanya Susan.
“engga.”
Kataku cepat. “oke sekarang aku mau nanya sama kamu.”
“apa?”
jawabnya.
“kenapa
kamu ngga gomong kalo kamu lagi sakit?” ucapku dengan nada khawatir.
“kamu
ngga nanya.” Kata Susan.
“iya
juga sih. Tapi kenapa kamu ngga pulang waktu hujan kemarin?”
“kamu
bilang aku suruh tunggu disitu. Ya, aku tunggu kamu.” Ucapnya kembali.
“iya
juga sih.”
“jadi
siapa yang salah?”
“tengil!
Aku serius!” ucapku kesal pada Susan.
“oke...
oke... aku juga serius.” Jawab Susan.
“lagian
kamu ngapain coba ngenalin aku sama cewek cewek itu? buat apa?”
“kamu
sendiri yang bilang, katanya cinta itu pengorbanan. Aku berkorban untuk kamu,
karena aku sayang sama kamu. Aku ngga mau ngeliat kamu sedih terus, galau
terus, mikirin aja Lala.”
“Ck!
kamu tahu? Aku khawatir sama kamu.” Kataku pada Susan.
“kamu
ngga bilang itu sama aku.” Jawabnya.
“Oke!
Oke! Aku sekarang bilang sama kamu. Aku, sayang kamu. Aku ngga mau kehilangan
kamu, dan aku mau kamu terus sama aku. Kamu juga ngga perlu lagi kenalin banyak
cewek lagi ke aku. Karena aku maunya cuma sama kamu.” Kataku padanya. Susan hanya
tertegun diam. Matanya menatap ke arahku. Dan kemudian ia tersenyum dan berkata
“aku juga.” Katanya, sembari memelukku.
Komentar
Posting Komentar